Blogger Widgets

Jumat, 07 November 2014

DONGENG PENUNGGU SURAU



Karya : Joni Ariadinata

ADZAN menyilet. Menyapa pintu-pintu. Menembus daun trembesi, ladang, lembah-lembah, orang-orang sibuk. Dan para petani itu. Perempuan-perempuan di kali, penyabit rumput, menyusui anak. Ada matahari terik. Ada lesung ditalu, bertalu-talu; suara paku dipalu pertanda kerja, sapi-sapi dihalau para gembala. Tertawa. Gembira.
“Gusti”, Muadzin Ali mendehem. Menatap Imam Mathori takjub, memandang jendela. Menunggu sesuatu.
“Tak ada yang datang. Apakah speaker di surau ini kurang keras memanggil mereka, Ali?”
“Musim tanam selalu membuat seluruh kampung sibuk. Seperti biasa. Lelaki dan perempuan. Bahkan anak-anak. Jangankan surau, bahkan sekolah selalu kosong.” Tersenyum. Berseloroh.”Maaf, Guru Brojol yang menceritakan hal itu kemarin sore.”
Katanya. Jadi sunyi. Imam Mathori terpaksa tertawa, lantas murung. Ada gurat tak jelas  ketika ia meludahkan batuk keras ke luar jendela, “Bahkan tak ada waktu untuk Tuhan. Begitu katanya?” tiba-tiba. Muadzin Ali mengangguk, tersentak.
“Barangkali musim panen mereka  akan ingat. Kita hanya bisa berharap, bukankah begitu?”
“Selalu,” Imam Mathori mengusap muka, menandaskan, “Adzan lah sekali lagi, Ali! Waktu sudah hampir habis…” Menatap jam. Merapihkan serban dan kopiah. Batuk.
Melengking. Suara Ali memanggil, suara adzan menembus atap menyayat dan berirama. Kembali lantang. Menuju lembah, sawah, menyeruak rumah-rumah, jendela-jendela: menyapa orang-orang yang tetap sibuk bekerja. Anak-anak rebut-riuh berkeliarantanpa dosa di pematang. Perempuan-perempuan bebal menenteng rantang suami,
ayah, buyut, saudara. Orang hidup harus kerja. Harus makan.
Lenguh sapi dipanggang matahari, menapak kaki-kaki basah di tanah, penuh lumpur, harapan, penuh nyanyian, gairah hidup. Makan! Hidup! Makan! Sedang Imam Mathori berdiri sunyi di mimbar menyampaikan khotbah Jum’at dengansetumpuk kisah tentang dosa. Tentang dunia, akherat dan neraka. Tak ada yang mendengar. Hanya Ali, lantas dua orang lelaki udzur tertatih datang di pintu masuk: dialah Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak Haji Besut. Hanya itu.
Dua jamaah tua paling rajin, yang bertobat padsa beberapa bulan terakhir, tetapi nyaris selalu datang di surau paling akhir. Tak apa Khusnul Khotimah lebih baik, begitu agama ini mengajarkan. Pelan-pelan. Tak ada pilihan, bukan begitu? Ini bukan jaman khalifah Umar, dimana pedang bisa dijadikan penggaris untuk merapikan jamaah. Juga tidak hidup di jaman Rasulullah, dimana setiap jamaah yang mangkir dari mesjid akan ditanya. Bahkan Imam Mathori berkali menyeru, gagal, ---tak bisa memaksa. Setiap manusia punya pilihan sendiri, dan Tuhan tak akan merubah suatu kaum tanpa dia berkehendak. Jadi taka pa.
Begitulah Imam Mathori jadi sedih. Bisik-bisik. Khotbah diakhiri dengan linangan air mata. Mukanya tengadah, menantang langit-langit, menutup mulut lewat doa: “Kita berdoa untuk saudara-saudara kita. Amin…”
Sembahyang wajib dua rakaat. Sunyi. Di luar cangkul-cangkul masih didentangkan, pecut sapi-sapi berteriak minta dirumputkan. Keringat tumpah. Tertawa, bekerja, dan bernyanyi. Jam satusiang memandang angkasa. Saatnya perut manusia diisi tiwul, gaplek, nasi. Wajib. Manusia pasti mati jika tak makan. Demi Tuhan! Para perempuan itu, para lelaki, anak-anak mengunyah-ngunyah mulut. BErkeciplak-keciplak. Bersama-sama sapi, tentu. Kambing itu. Ayam-ayam di kampung. Juga bebek.  Tikus, ular sawah. Sedang Tuhan, dimanakah Tuhan? Lalu apa bedanya kambing, sapi, bebek, ayam, tikus, dan mereka. Tak usah peduli.
Empat bulan Gusti Allah dengan mudah menumbuhkan biji-biji yang ditebar; menganugerahkan air, angin, matahari dan tanah;  mengatur kesuburan hingga aroma padi kuning dalam keharuman membentang. Saat panen tiba. Empat bulan orang-orang kampunbg letih menunggu. Datang pagi banting tulang, pulang petang tidur mekangkang. Dan sebagian bikin anak. Selalu begitu.
Dan Muadzin Ali, pada saat semacam itu, terlihat bercahaya di muka surau. Yaitu pada Jumat ke sekian ---entah. Di tepi Rumah Tuhan yang selalu sepi. Menunggu jamaah. Seperti biasa.
“Kalau begitu, panggilah meraka, Ali. Hari Jum’at, saatnya sembahyang,” Imam Mathori menukas. “Mereka harus bersyukur. Wajib bersyukur. Adzanlah dengan baik, seperti Bilal di jaman Rasulullah. Segera, Ali! Aku sudah tak sabarbmelihat surau ini penuh. Ratusan jamaah! Keraskan volume speaker sampai habis. Mudah-mudahan kali ini mereka tergerak. Toh panen taya telah tiba. Panen yang subur, di tanah yang gembur, pada rezeki mereka yang makmur! Ya Allah!.”
Berjingkat Muadzin Ali berbenah. Seperhentak kemudian suaranya lantang menyilet langit. Memekik. Gemetar ia dalam syukur dan takzim. Sedang Imam MAthori tetap berdiri di pintu. Dari jauh lamat langklah dua orang tertatih masuk: Lebai Otok Sukatno Gendut dan Wak Haji Besut.
          “Alhamdulillah, kemarilah! Dua hamba Allah. Kalian yang pertama memenuhi panggilan Muadzin. Beruntunglah. Hei, di mana yanglain?”
Muadzin Ali lelah melongok. Berkali-kali. Sayu jam. Waktu merayap dan surau tetap sepi. Imam Mathori bangkit, bosan, sedang Lebai Otok Sukatno Gendut berdzikir. Terlihat Wa Haji Besut sembahyang sunnat. Khusuk. Wajahnya bening.
Lama menunggu, detak jam berputar. Tiba-tiba:”Gusti”, Imam Mathori menuding, “Kau lihat di pintu, Ali! Aku mendengar suara rebut orang di luar. Barangkali mereka yang datang. Tuhan Maha Besar!”
Benar. Orang-orang rebut. Dari rumah-rumah, di jalan-jalan. Para lelaki, perempuan, anak-anak. Dengan langkah tergesa berduyun-duyun. Menyongsong langkah, di depan surau! Bersorak-sorak: Menyayi. Cangkul-cangkul, sabit, bakul, keranjang, bahkan gerobak. Ya Tuhan, “Kemarilah saudara! Heiiiii …. Datanglah kemari. Bersyukurlah di rumah Tuhan. Kalian…”
Terhenti berkoar. Muadzin Ali melongo. Ajaib. Apakah itu? Benarkah yang ia pandangi? Heh!! Cangkul-cangkul itu, sabit itu, keranjang itu, bahkan gerobak. Astagfirullah! Wajah berkerut suci ternganga, “Kemarilah Kiai!” Dia jadi berteriak memanggil Imam. Terbadai. “Serombongan orang ramai-ramai berangkat, berhamburan menuju ke sawah! Mereka tidak hendak ke masjid. Surau milik Tuhan. Tapi mereka hendak bekerja, menuai padi. Ya Allah…”
Letih. Tak ada musim panen tak ada tanam. Semua sama. Orang-orang begitu sibuk. Tak pernah berhenti. Wajah Imam Mathori tiba-tiba berubah menjadi bening, ikhlas: “Allah yang berkehendak menutup pintu kasih sayang. Mencabut ilmu. Engkau tahu, Ali, sekaranglah tanda-tanda itu telah dimulai. Apakah artinya? Kini aku ganti bertanya: setelah kita berempat mati, siapakah yang rela berpayah memanggil mereka untuk datang ke surau, Ali? Mengajari anak-anak mereka mengaji. Jawablah.”
“Tak ada ilmu agama, Kiai? Tentu tak perlu ilmu. Tak butuh agama. Mereka telah membunuh Tuhan. Dengan bengis. Karena yakin hidup ini abadi. Tidak akan mati.”
“Bagus! Nah, sekarang tutup pintu surau. Adzanlah sekeras mungkin, seperti Bilal di zaman Rasulullah. Aku ingin mereka tetap mendengar, Ali. Meskipun mereka tidak mendengar. Adzanlah! Sekali lagi, keraskan suaramu. Meskipun sekeras apapun suaramu, mereka tetap tuli….” Diam. Tersedak. Sunyi. Kemudian suara adzan melengking. Seperti terompet Israfil. Menyilet langit: menembus bumi! ***
Yogyakarta, 1997

1 komentar:

Unknown
15 November 2016 pukul 02.14

tragis, ini dongeng tapi terasa nyata.

Posting Komentar